Apa yang ada di benak kita saat menerima ucapan : “Selamat Tahun Baru Hijriyah?” Merasa aneh, asing, kikuk, atau serba-serbi rasa heran? Ah, jika demikian…boleh jadi, selama ini disadari atau tidak kita telah dengan rela membiarkan darah dan hati kita diwarnai serta dicekoki budaya jahiliyah sehingga kita merasa perlu aneh bin asing alias kikuk saat budaya Islami menyapa kita.
Selama ini kita lebih akrab dengan budaya Nasrani dan Yahudi dari pada dengan budaya Islam itu sendiri. Dan boleh jadi, kita lebih merasa betah dengan budaya non- Islami tersebut. Aneh memang. Orang yang mengaku muslim tapi tidak mengenal budaya muslim. Ironis memang, seorang muslim tidak berbudaya muslim.
Kini saatnya kita menata hati-memola diri mengisi sisa-sisa hari dengan kehidupan yang lebih islami. Sebagai langkah awal, kita mesti menetapkan Islam sebagai acuan hidup satu-satunya.
Jangan biarkan dan jangan sempatkan aturan selain Islam menjadi acuan hidup kita, baik vertikal maupun horisontal. Setidaknya, acuan Islamlah yang harus mendominasi.
Memang sulit untuk mengubah dan memformat kembali diri yang sudah terlanjur hanyut atau sengaja dihanyutkan dalam budaya jahiliyah. Namun, teramat salah jika kita tidak memulai karena Alloh sangat menghargai hamba yang mau “kembali”. Mengenai hal ini ada sebuah kisah menarik. Seorang sahabat bertanya kepada Rosululloh tentang “perasaan “dan “sikap” Alloh pada hamba yang mau kembali ke jalan yang benar. Rosululloh menamsilkan dengan :
“Seperti halnya yang kamu rasakan saat menempuh perjalanan di padang pasir yang tandus dan gersang, sedangkan untamu pergi menghilang. Saat kamu terpanggang panas dan tersiksa serta kehausan, kamu melihat unta yang teramat kamu harapkan kembali dengan membawa perbekalan. Kamu tentu teramat bersuka cita. Nah, lebih dari itulah suka citanya Alloh!“
Sahabat, marilah memulai betapapun sulitnya. Untuk memulai, kita dapat mengawalinya dengan hal-hal ringan terlebih dahulu. Misalnya, awali setiap aktivitas kita dengan basmallah sehingga setiap upaya kita bernilai ibadah.
Kita mesti tetapkan dalam hati bahwa setiap aktivitas yang diawali dengan ucapan atas nama Alloh tidak boleh dan tidak akan pernah dihiasi dengan aneka hal yang tidak disukai oleh Alloh. Kemudian, akhirilah setiap aktivitas kita dengan hamdallah tanpa perlu menimang-nimang hasil yang diperoleh. Hamdallah tidak semata diucapkan kalau hasil aktivitas kita memuaskan saja. Puas atau tidak puas sangatlah bergantung pada “subjektivitas” kita. Hal tersebut teramat relatif dan teramat naïf jika subjektivitas kita dijadikan tolak ukur.
Hamdallah merupakan bentuk rasa syukur dan rasa terima kasih. Bukankah Alloh sudah banyak memberi dan bukankah teramat kurang ajar jika kita masih enggan bersyukur dan berterima kasih.
Lainsyakartum la ajidanakum, wala inkafartum inna adzabi lasyadid. Semoga Alloh memudahkan kita untuk kembali.